Nganjuk, Gebrakkasus.com – Kenaikan harga material tambang di Kabupaten Nganjuk memicu kegelisahan di kalangan sopir truk dan pelaku usaha transportasi. Kebijakan yang diumumkan oleh Persatuan Pengusaha Tambang Nganjuk melalui surat resmi tertanggal 7 Februari 2025 dianggap mendadak, kurang transparan, dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan.
Dalam surat tersebut, yang ditandatangani oleh Ketua Persatuan Pengusaha Tambang Nganjuk, Wibisono Wijanto alias Afuk, ditetapkan bahwa harga urukan untuk dump truk standar kecil berkapasitas 6–8 m³ naik menjadi Rp 250.000 per rit. Kebijakan ini diklaim berlaku hingga April 2025, tetapi dengan catatan harga dapat berubah sewaktu-waktu.
Peningkatan harga ini mendapat sorotan tajam karena tidak sejalan dengan kesepakatan yang sebelumnya dibuat di tingkat asosiasi tambang. Arif Wibowo, Wakil Ketua Asosiasi Tambang, mengungkapkan bahwa sebelumnya telah ada kesepakatan kenaikan harga sebesar Rp 300.000 yang didasarkan pada kebijakan gubernur Jawa Timur, sebagaimana diberitakan oleh salah satu media online terkemuka. Namun, besaran harga yang beredar di tambang justru berbeda dari yang telah disepakati.
Kebingungan dan Kerugian bagi Sopir Truk
Kebijakan yang tidak seragam ini memicu keresahan di kalangan sopir truk yang setiap hari mengangkut material tambang. Beberapa sopir yang ditemui di lokasi tambang mengaku bingung dengan perbedaan harga yang berlaku di lapangan.
“Kami tidak tahu harus mengikuti harga dari siapa. Kalau memang ada perubahan harga, seharusnya ada sosialisasi yang jelas. Sekarang, justru kami yang dirugikan,” ujar salah satu sopir yang enggan disebutkan namanya.
Para sopir menyoroti dampak finansial dari kenaikan harga ini. Dengan tarif material yang lebih tinggi, biaya operasional mereka meningkat, sementara daya beli konsumen terhadap material urukan bisa menurun. Akibatnya, permintaan jasa angkut mereka pun berpotensi menurun, sehingga pendapatan mereka terancam.
Pemerintah Kabupaten Nganjuk Tidak Dilibatkan?
Asisten Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Yudi Ernanto, mengaku belum menerima laporan resmi terkait perubahan pengurus asosiasi tambang maupun kebijakan kenaikan harga material tambang.
“Sampai saat ini, kami belum mendapatkan pemberitahuan resmi atau koordinasi dari pihak terkait mengenai perubahan kepengurusan ataupun kenaikan harga ini,” ungkap Yudi saat dikonfirmasi melalui WhatsApp.
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar terkait legitimasi keputusan yang dikeluarkan oleh Persatuan Pengusaha Tambang Nganjuk. Jika pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas tidak dilibatkan dalam keputusan strategis seperti ini, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut bisa berpotensi melanggar regulasi atau bahkan membuka celah praktik monopoli harga.
Sejumlah pengamat menilai bahwa kenaikan harga yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menimbulkan ketidakpastian di sektor konstruksi dan transportasi. Pasalnya, material tambang seperti urukan adalah komponen penting dalam proyek infrastruktur. Jika harga tidak stabil, dampaknya bisa meluas hingga ke sektor lain yang bergantung pada pasokan material ini.
Desakan untuk Transparansi dan Regulasi yang Jelas
Seiring meningkatnya ketidakpastian, berbagai pihak mendesak adanya transparansi lebih lanjut dalam penentuan harga material tambang di Nganjuk. Beberapa perwakilan sopir dan pelaku usaha transportasi berharap agar pemerintah daerah segera turun tangan untuk memastikan regulasi yang lebih jelas dan menghindari kemungkinan praktik kartel oleh kelompok tertentu.
“Kami hanya berharap ada kejelasan dan keadilan dalam aturan mainnya. Jangan sampai sopir dan konsumen yang jadi korban,” kata seorang sopir lainnya.
Beberapa solusi yang diajukan antara lain:
1. Sosialisasi resmi dari pihak asosiasi tambang kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk sopir dan pengusaha transportasi, agar tidak ada kebingungan di lapangan.
2. Keterlibatan aktif pemerintah daerah dalam pengawasan harga material tambang, sehingga tidak ada permainan harga yang merugikan pihak tertentu.
3. Pembentukan forum komunikasi reguler antara asosiasi tambang, sopir truk, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya untuk memastikan kebijakan yang adil dan transparan.
Kesimpulan
Kenaikan harga material tambang di Nganjuk menjadi polemik yang merugikan banyak pihak, terutama sopir truk yang terdampak langsung. Dengan belum adanya kejelasan dari pemerintah daerah dan adanya perbedaan harga antara asosiasi tambang dan pelaku usaha, situasi ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan di sektor transportasi dan konstruksi.
Langkah konkret dari pemerintah daerah serta koordinasi yang lebih baik antara asosiasi tambang dan pemangku kepentingan lainnya sangat dibutuhkan. Transparansi dalam kebijakan harga, regulasi yang lebih tegas, serta komunikasi yang terbuka akan menjadi kunci untuk menyelesaikan permasalahan ini sebelum berdampak lebih luas. (Sr)