Gebrakkasus.com – LAMSEL,—kian memanas, Polemik dugaan intimidasi terhadap wartawan tepatnya di Desa Bumi Daya, Kecamatan Palas, pada Jum’at 14 November 2025.
Kasus ini yang menyeret nama Ketua Komisi III DPRD Lampung Selatan, Yuti Rama Yanti, kini masuk babak baru setelah Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Provinsi Lampung menilai adanya indikasi kuat pelanggaran Undang-Undang Pers.
Ketua FPII Provinsi Lampung, Sufiyawan, bersama tim Korwil FPII Lampung Selatan, pada hari Jum’at tanggal 14 November 2025 yang mendatangi kantor DPRD Lampung Selatan untuk meminta klarifikasi resmi kepada Ketua DPRD dan Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Lamsel.
Kedatangan tersebut merupakan bagian dari upaya menuntut keterbukaan informasi dan memastikan bahwa lembaga DPRD bersikap kooperatif dalam penanganan dugaan intimidasi terhadap insan pers.
Namun’ upaya meminta tanggapan tersebut berakhir tanpa hasil. Baik dari Ketua DPRD Lampung Selatan, Erma Yusneli, maupun Ketua BK, Jenggis Khan Haikal, S.H., M.H., Terlihat justru menghindari ketika didatangi wartawan dari FPII. Keduanya beralasan sedang menghadiri rangkaian acara Hari Ulang Tahun Kabupaten Lampung Selatan.
“Maaf, ini kan sedang ada acara HUT Lamsel, kami masih bersenang-senang dulu. Mohon nanti saja,” Ujarnya ketua DPRD kabupaten Lamsel Erma Yusneli dengan nada singkat ia saat dimintai tanggapan, kemudian berjalan menjauhi awak media.
Sementara itu, Ketua BK, Jenggis Khan Haikal, juga memberikan jawaban yang serupa. “Iya nanti, tapi sabar ya,” ucapnya ketika ditemui setelah acara.
Namun’ faktanya, hingga dua kali didekati, ia tetap menghindar dan tidak memberikan penjelasan apa pun, bahkan sempat menghilang dari lokasi tanpa memberikan keterangan lanjutan yang pasti.
Sikap menghindar dari dua pimpinan DPRD kabupaten Lamsel tersebut menimbulkan tanda tanya publik mengenai komitmen lembaga dewan dalam menangani permasalahan dugaan pelanggaran etika dan hukum oleh salah satu anggotanya.
Terlebih, dalam beberapa pemberitaan sebelumnya, terdapat pernyataan Yuti Rama Yanti yang menyebutkan bahwa “handphone sudah dikembalikan”.
Kalimat ini menimbulkan interpretasi bahwa telah terjadi pengambilan atau penguasaan sementara atas barang milik wartawan, yang dapat dikategorikan sebagai bentuk intimidasi atau upaya menghalangi tugas jurnalistik.
Jika itu benar adanya, tindakan tersebut berpotensi melanggar UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 Ayat (1) yang menegaskan bahwa siapa pun dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana hingga dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Selain itu juga, indikasi perampasan handphone dapat bersinggungan dengan pasal-pasal dalam KUHP mengenai perampasan dan tindakan tidak menyenangkan, serta UU ITE jika terdapat akses data pribadi di dalam perangkat tersebut.
Dengan dasar-dasar inilah FPII menegaskan bahwa permintaan klarifikasi resmi kepada DPRD dan Badan Kehormatan merupakan langkah penting untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan etika lembaga legislatif.
Hingga berita ini disusun, FPII menyatakan akan terus melanjutkan upaya permintaan keterangan resmi guna memenuhi hak publik untuk mengetahui perkembangan kasus tersebut. (Tim)












