Konsumen Dirugikan!!! Diduga Tak Sesuai Takaran, BBM di SPBU Kota Cirebon, Kinerja Metrologi Dipertanyakan

Poto: BBM pertalite yang tidak sesuai Takaran.

Gebrakkasus.com – CIREBON —  Fakta mencengangkan terkuak dari hasil investigasi mendalam yang dilakukan oleh awak media terhadap sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Cirebon, pada Kamis 23 Oktober 2025.

Temuan ini memunculkan dugaan kuat bahwa selama bertahun-tahun, masyarakat tidak pernah benar-benar mendapatkan takaran 1 liter penuh setiap kali mengisi bahan bakar (BBM).

Slogan “Pasti Pas” yang selama ini menjadi ikon kepercayaan Pertamina, kini justru menjadi sorotan tajam publik. Moto yang seharusnya menjamin kepastian takaran dan kejujuran dalam pelayanan, berubah menjadi ironi di tengah dugaan pelanggaran nyata di lapangan.

Investigasi dilakukan secara sistematis di beberapa SPBU berbeda di wilayah Kota Cirebon dan dilakukan pada waktu dini hari, saat kondisi pengawasan longgar dan lalu lintas pelanggan sepi.

Awak media membeli langsung BBM jenis Pertamax dan menampungnya dalam botol air mineral berukuran standar untuk permudah dalam mengukur perbandingan.

Bukti tersebut kemudian dibawa ke Kantor Metrologi Kota Cirebon untuk diuji secara resmi bersama pejabat terkait bagian Kasie dan Kabid.

Hasilnya sungguh mengejutkan dan tak terbantahkan, selisih takaran ada yang ditemukan mencapai sekitar 200ml dari per liter. Padahal, aturan metrologi hanya memperbolehkan batas toleransi maksimal 60 ml.

Artinya, setiap 1 liter yang dibayar oleh konsumen, hanya sekitar 800 ml yang benar-benar diterima.

Jika dikalkulasikan secara massal, potensi kerugian konsumen di Cirebon bisa mencapai ratusan ribu liter setiap bulannya, tergantung volume penjualan SPBU tersebut.

Lebih mengkhawatirkan lagi, temuan ini mengindikasikan adanya pemanfaatan celah hukum.

Batas toleransi 60 ml seolah dijadikan “tameng legalitas” untuk mengambil keuntungan tambahan lagi dari konsumen.

Dari hasil pengamatan di lapangan, terindikasi adanya perbedaan pengaturan sistem digital dispenser BBM antara siang dan malam hari.

Beberapa pengisian yang dilakukan malam hari menunjukkan selisih takaran lebih besar, sementara pada jam sibuk siang hari, hasilnya cenderung lebih mendekati normal.

Fenomena ini membuka dugaan adanya pengaturan sistem elektronik dispenser yang dimanipulasi melalui kalibrasi tersembunyi atau software internal.

Jika benar terbukti, hal ini bukan lagi kesalahan teknis, tetapi telah masuk kategori pelanggaran pidana karena unsur kesengajaan, dan perlu dilakukan uji forensik oleh aparat hukum untuk memastikan tidak ada praktik curang terselubung.

Pertanyaan besar kini menyoroti di mana fungsi pengawasan Dinas Metrologi Kota Cirebon selama ini?

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan, tera, dan tera ulang alat ukur, UPT Metrologi Legal Kota Cirebon seharusnya menjadi benteng utama perlindungan konsumen.

Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan kebalikannya.

SPBU tetap beroperasi tanpa kontrol ketat, dan masyarakat membayar penuh tanpa menerima hak takaran yang adil.

Hal yang lebih mengejutkan terjadi ketika awak media mencoba meminta klarifikasi ke salah satu SPBU, muncul pihak luar yang mengaku sebagai aparat hukum dan anggota ormas, yang justru terkesan ingin menghalangi kerja jurnalistik.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers memiliki fungsi strategis sebagai kontrol sosial dan sumber informasi publik. Menghalangi kerja jurnalis sama saja dengan menghalangi hak masyarakat untuk tahu kebenaran.

Tindakan ini tentu mencederai prinsip keterbukaan informasi publik, sekaligus menimbulkan tanda tanya besar, ada kepentingan apa di balik keterlibatan pihak-pihak tersebut?

Situasi semakin janggal ketika awak media berupaya meminta konfirmasi lanjutan ke Kantor Metrologi Kota Cirebon pada Senin, 20 Oktober 2025.

Untuk keempat kalinya, pejabat Kasie yang berwenang selalu tidak berada di tempat, sementara staf penerima tamu menunjukkan sikap tidak ramah dan menolak keterbukaan informasi.

Sikap seperti ini bukan hanya tidak profesional, tetapi juga bertentangan dengan prinsip pelayanan publik dan transparansi pemerintahan.

Lemahnya kontrol dan pengawasan dari pihak Metrologi Kota Cirebon dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat yang menyebabkan kerugian massal bagi masyarakat.

Praktik ini jelas melanggar prinsip perdagangan jujur dan berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 62 ayat (1) menyebutkan:

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.”

Selain itu, praktik curang dalam takaran juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 26 Tahun 2021.

Setiap alat ukur wajib ditera dan ditera ulang secara berkala.

Apabila terbukti memanipulasi atau lalai, pengelola SPBU dapat dikenai pidana kurungan hingga 1 tahun atau denda Rp1 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU Metrologi Legal.

Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindakan pidana ekonomi yang berdampak langsung pada hak publik.

Publik berharap tindakan nyata dari Pemerintah Kota Cirebon, Inspektorat dan aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan mendalam, agar audit independen segera dilakukan, termasuk pemeriksaan menyeluruh terhadap SPBU di wilayah Cirebon dan evaluasi kinerja Metrologi Legal secara terbuka, karena tidak hanya menyangkut kehilangan mililiter bahan bakar, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengawasan pemerintah dan dunia usaha. (Eka)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *