BANDAR LAMPUNG – Hanya tinggal menghitung hari rakyat Indonesia akan memiliki Kepala Daerah baru. Minggu 26/01/2025.
Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terpilih hasil Pemilihan Serentak Nasional tahun 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2025. Kecuali yang masih ada sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), terpaksa harus ditunda.
Ada kebanggaan tersendiri bagi para kepala daerah dan wakilnya, karena untuk kali pertama sepanjang sejarah pelantikannya diselenggarakan di Istana Negara dan dilantik langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Dari 21 Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang akan dilantik, salah satunya adalah pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal dan dr. Jihan Nurlela yang mendapat kepercayaan lebih dari 87 persen masyarakat Lampung.
Meski tidak bisa menyaksikan secara langsung saat pelantikan nanti, tapi penulis cukup merasa bahagia karena perjalanan dari sebuah perjuangan tahap pertama telah usai. Tahap berikutnya adalah mengawal Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung agar didalam mengemban amanah rakyat tidak tersandung kerikil sekecil apapun sampai akhir jabatan nanti. Termasuk harapan bagi seluruh Bupati dan Walikota beserta wakilnya, khususnya yang ada di provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai ini.
Apa sesungguhnya yang diharapkan oleh masyarakat dari kepala daerah setelah dilantik? Selain memenuhi janjinya saat kampanye, yang lebih penting lagi jangan sampai terjadi pecah kongsi di tengah jalan. Memang, belum pernah ada pasangan calon kepala daerah yang saat kampanye berjanji tidak bakal pecah kongsi jika terpilih nanti, namun sesungguhnya hal tersebut menjadi dambaan rakyat.
Rakyat ikut merasa tidak nyaman ketika menyaksikan kepala daerah dan wakilnya berseteru, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Pecah kongsi bukan hal baru, bahkan Kementerian Dalam Negeri pernah menyebutkan bahwa sekitar 94,64 persen kepala daerah pecah kongsi. Hanya sedikit kepala daerah dan wakilnya yang harmonis hingga akhir jabatan.
Awalnya penulis ingin mengganti istilah pecah kongsi dengan ghosting politik, biar terdengar sedikit halus meski maknanya sama. Istilah ghosting muncul dari kalangan milenial di media sosial untuk mendeskripsikan putusnya hubungan percintaan antara sepasang kekasih. Sekarang ghosting bukan saja terjadi di dunia percintaan kaum milenial, tapi juga menjangkit di ranah politik.
Ghosting politik bahkan sering mewarnai dunia kekuasaan antara kepala daerah dengan wakilnya. Inilah fenomena yang kian terbuka di panggung demokrasi kita, termasuk di provinsi Lampung. Ibarat sepasang pengantin, mereka nampak mesra dalam menikmati bulan madu di tahun pertama. Antara kepala daerah dan wakilnya nampak harmonis dalam menjalankan tugas menaati sumpah janjinya, saling bahu-membahu merealisasikan janji-janjinya saat kampanye.
Memasuki tahun kedua mulai muncul ketidak-cocokan diantara keduanya. Sang wakil mulai ngambek karena merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis dan faktor lainnya termasuk dalam urusan bagi-membagi tentu saja. Maka muncullah fiksi antara keduanya, walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi tapi tetap saja terbaca oleh publik.
Biasanya fiksi terjadi akibat tidak adanya kesepakatan diantara keduanya dalam menentukan figur untuk mengisi posisi-posisi strategis seperti jabatan struktural eselon II maupun pejabat di badan usaha milik daerah (BUMD).
Memasuki tahun ketiga mulai terjadi perang terbuka, keduanya berseberangan jalan. Tidak jarang antara kepala daerah dan wakilnya saling melontarkan kritik terbuka untuk mencari pembenaran masing-masing. Tanpa tedeng aling-aling, seorang kepala daerah membongkar segala kekurangan yang ada pada diri wakilnya. Begitu pula sebaliknya, banyak wakil yang mengungkap kesalahan dan kebobrokan kepala daerahnya. Persoalan yang seharusnya menjadi ranah pribadi berubah menjadi perang terbuka dan urusan pribadi menjadi konsumsi publik.
Pecah kongsi tidak saja akan menghambat jalannya pemerintahan, tapi juga membuat birokrasi menjadi terbelah, antara pendukung kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Aparat sipil negara (ASN) yang seharusnya menjadi perekat bangsa dan bersikap netral, justru orientasinya berubah menjadi abdi penguasa daerah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pelayanan publik pun secara otomatis menjadi terganggu. Jika masih ada yang bertanya apakah ada korelasi antara kekompakan kepala daerah dan wakilnya dengan kemajuan daerah yang dipimpinnya, jawabnya jelas ada. Ambil saja contoh yang terjadi di kabupaten Lampung Selatan, dimana antara Bupati Nanang Ermanto dan Wakilnya Pandu Kesuma Dewangsa tidak sempat menikmati bulan madu secara sempurna karena pasca dilantik, hasil Pilkada tanggal 9 Desember 2020 langsung pecah kongsi sampai di penghujung masa jabatannya.
Sosok wakil Bupati Lampung Selatan hampir tidak pernah muncul dalam agenda resmi pemerintahan maupun kedinasan. Bahkan sekedar tampil di baleho pun tidak pernah. Boleh jadi ini pecah kongsi tercepat diantara yang terjadi di wilayah kabupaten/kota lain dan menjadi sorotan publik. Akibat adanya pecah kongsi antara Bupati dan Wakilnya, secara otomatis telah membuat pelayanan publik menjadi terganggu dan tidak maksimal.
Pecah kongsi juga terjadi hampir di semua daerah, terutama yang kepala daerah dan wakilnya sama-sama berasal dari partai politik. Sebaliknya kepala daerah yang berpasangan dengan wakil dari non partai biasanya lebih bisa bertahan lama, seperti pasangan Walikota Bandar Lampung Eva Dwiana dan wakilnya Dedy Amrullah yang merupakan mantan birokrat murni. Setelah selesai menjalani tugas pada periode pertama, mereka kembali berpasangan dalam Pilkada 2024 dan terpilih kembali untuk memimpin Kota Bandar Lampung untuk periode kedua. Pecah kongsi mengonfirmasi bahwa tidak ada persahabatan atau permusuhan yang abadi dalam politik, yang ada ialah kepentingan abadi. Terbukti, sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sebelumnya telah berpasangan, pada Pilkada selanjutnya mereka berpisah dan bersaing memperebutkan jabatan kepala daerah.
Kita semua berharap agar pasangan kepala daerah dan wakilnya yang sebentar lagi akan dilantik dapat seiring sejalan dan senasib sepenanggungan. ***
*) Penulis adalah Pengurus PUSKAP ( Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Wilayah Lampung.