Jelajah Tutur Bambu, Buku Karya Sharen Olivia, Bangun Jembatan Urban-Rural

Sharen Olivia (kanan)

TEMANGGUNG | Acara bedah buku Jelajah Tutur Bambu karya Sharen Olivia digelar di Pasar Papringan, Ngadimulyo, Kedu, Temanggung, Jumat (21/11/2025).

Kegiatan ini menjadi bagian dari program revitalisasi desa hasil kolaborasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan Spedagi Movement untuk menguatkan potensi lokal serta mempererat hubungan masyarakat urban dan rural melalui dokumentasi kearifan lokal.

Acara yang dihadiri komunitas literasi, penulis senior, penggiat buku, mahasiswa, serta warga Dusun Ngadiprono itu berlangsung hangat dan mendapat respons antusias dari peserta.

Sharen Olivia, mahasiswi Ilmu Komunikasi UMN sekaligus penulis buku, menjelaskan bahwa karyanya merupakan hasil perjalanan selama sepuluh hari di Dusun Ngadiprono.

“Buku ini menghadirkan perspektif seorang anak kota yang menyelami kehidupan desa melalui dialog-dialog intim dengan para pengrajin bambu dan warga lokal,” ujarnya.

Menurutnya, yang menarik dari proses penulisan adalah temuan bahwa banyak konsep berpikir dan bekerja—yang di kota dipelajari secara akademis—telah lama dipraktikkan secara alami dalam keseharian masyarakat desa. “Teori dan praktik tidak terpisah, tetapi menyatu dalam ritme hidup masyarakat,” jelasnya.

Dengan gaya yang memadukan prosa dan jurnalisme naratif, buku tersebut mengajak pembaca mengikuti proses penulis menemukan makna dari hal-hal kecil di sekitar. Filosofi bambu yang lentur namun kuat menjadi benang merah cerita tentang kearifan, ketahanan, dan keberlanjutan hidup warga setempat.

Muchlas Abror, S.Pd., M.A., Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia UMNU Kebumen sekaligus penggiat sastra, tampil sebagai pembedah buku. Ia menilai gaya penulisan Sharen segar dan mudah dinikmati.

“Seperti traveler yang mengajak pembaca untuk peka terhadap hal-hal sederhana. Penggabungan prosa dan jurnalisme membuat buku ini ringan namun tetap bernilai. Bahkan sinopsis yang dibacakan saja sudah mampu menarik perhatian audiens,” ujarnya.

Abror berharap diskusi buku ini mendorong lebih banyak orang untuk belajar dari percakapan sederhana dengan masyarakat lokal dan alam.

“Buku ini bukan hanya tentang Dusun Ngadiprono atau bambu, tetapi tentang bagaimana kita belajar melihat kembali nilai-nilai yang kerap terabaikan.” (Ysp)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *