Gebrakkasus.com – – Malam itu di Geumpang, hujan turun seperti ragu. Deru mesin truk PT Pegasus Mineral Nusantara (PMN) baru saja padam setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Jum’at tanggal 05 Desember 2025.
Di dalam bak-bak besinya tersimpan 6,5 ton bantuan—bukan sekadar logistik, tetapi bekal bertahan hidup—yang pagi ini akan diupayakan menembus Desa Paya Tampu, Berandeuh Paya, Tanjung, dan desa-desa lain di sekitarnya, wilayah yang sejak itu banjir besar beberapa hari lalu terputus dari dunia luar.
Pergerakan bantuan ini dilakukan dalam koordinasi tanggap darurat sebagaimana diarahkan dalam Surat Edaran Gubernur Aceh tentang penanganan bencana dan percepatan distribusi bantuan ke wilayah terisolir.
Negara hadir melalui instruksi, namun di lapangan kehadiran itu diuji oleh lumpur pekat, tebing rapuh, dan akses jalan yang hilang.
“Kami sebenarnya ingin langsung jalan malam ini,” ujar M. Nur, perwakilan PT Pegasus Mineral Nusantara, sambil menatap jalur gelap di depan. “Tapi medan belum aman. Tebing masih labil.” Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Sementara di sana, warga sudah tidak punya waktu untuk menunggu.”
Di desa-desa tersebut, sekitar 1.500 jiwa dari 500 keluarga kini bertahan dengan persediaan yang makin menipis. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk, tidak ada toko yang beroperasi. Beras dibagi makin tipis dari hari ke hari. Dalam kondisi seperti ini, bantuan bukan lagi sekadar tanda kepedulian, melainkan garis penentu antara makan atau tidak makan.
Pada tahap awal, tim PMN mengangkut 1.000 karung beras lima kilogram, 200 kotak mi instan, 1.000 kilogram minyak goreng dan gula, 2.000 butir telur, 300 lembar selimut, serta sarden, garam, dan kebutuhan pokok lainnya. Sebagian komoditas bahkan dibeli tambahan di perjalanan karena stok di lapangan sudah nyaris habis. “Kalau menunggu pasokan normal, warga bisa keburu kosong dapurnya,” kata M. Nur.
Seluruh operasi—mulai dari truk pengangkut, bahan bakar, hingga kebutuhan teknis—ditanggung dari dana operasional PT Pegasus Mineral Nusantara.
Tidak ada seremoni, tidak ada panggung. Hanya kerja senyap di jalur rusak dengan satu tujuan: memastikan bantuan benar-benar sampai.
Distribusi dirancang dengan cermat agar tidak menumpuk di satu titik. “Yang paling kami khawatirkan itu kalau ada desa yang terlewat,” ujar M. Nur. “Di kondisi seperti ini, satu hari tanpa bantuan bisa berakibat fatal.” Kalimat itu tidak terdengar heroik, tetapi menjadi pengingat sunyi betapa rapuhnya hidup di wilayah yang terisolir.
Misi ini tidak berhenti pada satu perjalanan. Tahap kedua telah disiapkan: 400 karung beras tambahan serta lebih dari 500 kotak sarden akan dikirim begitu akses dinilai aman.
Jika jalur terbuka, distribusi akan diperluas ke kecamatan lain di Aceh Tengah, tetap dalam koridor koordinasi kebencanaan sesuai arahan pemerintah daerah.
“Kami tidak datang hanya untuk sekali menurunkan bantuan lalu pergi,” kata M. Nur. “Kami ingin warga benar-benar bisa bertahan sampai keadaan membaik.” Ucapannya sederhana, tanpa slogan besar.
Namun dalam medan bencana, kesederhanaan semacam itu sering kali menjadi penyangga hidup yang paling nyata.
Aceh Tengah kini sedang menyusun ulang hidupnya dari lumpur, dari jalan yang hilang, dari ladang yang tertimbun. Di tengah keterputuasan itu, bantuan PT Pegasus Mineral Nusantara—yang bergerak seiring instruksi darurat Pemerintah Aceh—hadir bukan sekadar sebagai urusan logistik, tetapi sebagai penegas bahwa warga di ujung jalan yang putus itu belum sepenuhnya sendirian
Dan ketika truk-truk itu kembali bergerak menuju desa-desa yang terputus itu, yang dibawa bukan hanya beras, telur, dan selimut.
Yang mereka bawa adalah tambahan napas bagi warga setempat yang selama ini berhari-hari bertahan di batas paling sunyi dari perhatian. Red












